My Profile

Foto saya
Sinabang, Aceh, Indonesia

Sabtu, 22 Mei 2010

Makalah Fiqh Muamalat II

IJARAH MUNTAHIYA BI AL-TAMLIK (LEASING)


Disusun Oleh:
MUHARDI



PERBANKAN ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2010







DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
B. Dasar Hukum Ijarah
C. Rukun dan Syarat Ijarah
D. Aplikasi Ijarah dalam Lembaga Keuangan
E. Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik
F. Ijarah dan Leasing
G. Ijarah dan Murabahah
H. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
I. Pengembalian Sewaan

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Kritik dan Saran

DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank Syari’ah dan Lembaga Keuangan Syari’ah lainnya dalam melayani produk pembiayaan, mayoritas masih terfokus pada produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan ijarah memiliki kesamaan dengan pembiayaan murabahah karena termasuk dalam katagori natural certainty contracts dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Hanya perbedaan keduanya terletak pada objeknya, dimana objek pembiayaan ijarah adalah berupa jasa, sedangkan objek pembiayaan pada murabahah adalah berupa barang. Dalam makalah ini, kami (kelompok VI) mencoba membahas tentang: bagaimana aplikasi ijarah dalam lembaga keuangan, bagaimana hubungan antara ijarah dengan murabahah, serta bagaimana hubungan perbedaan antara ijarah dan leasing.
















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah suatu jenis akad mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadl yang arti dalam bahasa indonesianya ialah ganti dengan upah.
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Hanafiyah
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.

2. Menurut Malikiyah
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.

3. Menurut Sayyid Sabiq
‘Suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian’.


B. Dasar Hukum Ijarah
1. Al-Qur'an surat al-Zukhruf : 32


“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan”.

2. Al-Qur’an surat al-Baqarah : 233



“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”

3. Al-Qur’an surat al-Qashash : 26

          
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.

4. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.

5. Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda:
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.

6. Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :

Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.

7. Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

8. Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
Kaidah fiqh
Artinya : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalilyang mengharamkannya.
Kaidah fiqh
Artinya: Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.


C. Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah :
a. Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
b. Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).
c. Sighat yaitu ijab dan qabul.

Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hokum Islam, sebagai berikut :
a. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
b. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.
c. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
d. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila asset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSNMUI/IV2000 tanggal 13 April 2000 Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan:
Rukun dan Syarat Ijarah :
a. Pernyataan ijab dan qabul.
b. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) : terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa (Lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
c. Objek kontrak: pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
d. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
e. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (lembaga keuangan syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).


Ketentuan Objek Ijarah :
a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
h. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
i. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah :
- Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi sewa :
a. Menyediakan aset yang disewakan.
b. Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c. Penjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.
- Kewajiban nasabah sebagai penyewa :
a. Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai dengan kontrak.
b. Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (materiil). Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dan penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

D. Aplikasi Ijarah Dalam Lembaga Keuangan
Bank-bank islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Namun, pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan ijarah al-muntahia bittamlik lantaran lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank tidak direpotkan untuk mengurus aset, baik pada saat leasing maupun sesudahya.




Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu:
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah. Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah

Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah

E. Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik
a. Pengertian Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik (Sewa-Beli) – Financial Lease with Purchase Option
Al-Ijarah al-muntahia bittamlik adalah perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau disebut juga dengan akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
Bentuk ijarah al-muntahia memiliki kesepakatan yang berbeda dengan ijarah biasa, antara lain: ijarah dan janji menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam ijarah; harga barang dalam transaksi jual; dan kapan kepemilikan dipindahkan.
Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan ada adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan fuqaha terdahulu.
Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata;
a. at-ta'jiir / al-ijaaroh (sewa)
at-ta'jiir menurut bahasa; diambil dari kata al-ajr ,yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala. Adapun al-ijaaroh: nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan Sedangkan al-ijaaroh dalam istilah para ulama ialah suatu akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi mubah berupa suatu dzat yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah tanggungan, atau akad terhadap pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas serta tempo waktu yang jelas
b. at-tamliik (kepemilikan)
At-tamliik secara bahasa bermakna: menjadikan orang lain memiliki sesuatu. Dan at-tamlik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bias dengan ganti atau tidak.
- Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual beli.
- Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan.
- Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini adalah hibah/pemberian.
- Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut pinjaman.
al ijarah al muntahia bit tamlik” (persewaan yang berujung kepada kepemilikan) adalah; kepemilikan suatu manfaat (jasa) berupa barang yang jelas dalam tempo waktu yang jelas, diikuti dengan adanya pemberian kepemilikan suatu barang yang bersifat khusus dengan adanya ganti yang jelas.
Al-Ba’i wa al-ijarah muntahia bi al-tamlik merupakan rangkaian dua buah akad, yakni akad al-ba’i dan akad al-ijarah muntahia bi al-tamlik. Al-ba’i merupakan akad jual beli, sedangkan al-ijarah muntahia bi al-tamlik merupakan kombinasi sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa.
Ijarah muntahia bi al-tamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan kepemilikan objek sewa8.
Dalam ijarah muntahia bi al-tamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara:
a. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
b. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewaakan tersebut pada akhir masa sewa.

Adapun bentuk alih kepemilikan ijarah muntahia bi al-tamlik antara lain:
a. Hibah di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa asset dihibahkan kepada penyewa.
b. Harga yang berlaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu.
c. Harga ekuivalent dalam periode sewa, yaitu ketika membeli aset dalam periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen.
d. Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemilikan dilakukan bertahap dengan pembayaran cicilan selama periode sewa.


F. Rukun dan Syarat Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik
Dalam semua pembiayaan murabahah, termasuk pembiayaan KPR Syari’ah, terdapat rukun yang dikristalisasikan sebagai berikut:
1) Pihak yang berakad
a) Penjual
b) Pembeli
2) Objek yang diakadkan
a) Barang diperjualbelikan
b) Harga jual/keuntungan
3) Akad/ sighat
a) Serah (ijab)
b) Terima (qabul)
Dengan mengacu pada skim murabahah, dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi KPR Syari’ah adalah sebagai berikut:
1) Pihak bank harus memberitahukan biaya pembelian rumah kepada nasabah KPR Syari’ah.
2) Kontrak transaksi KPR Syari’ah ini haruslah sah.
3) Kontrak tersebut harus terbebas dari riba
4) Pihak bank syari‘ah harus memberikan kejelasan tentang rumah yang dijadikan obyek transaksi KPR Syari‘ah.
5) Penjual harus menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan proses perolehan barang tersebut.
Sedangkan persyaratan yang ditetapkan oleh Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) tentang aplikasi murabahah dalam perbankan syari’ah, yaitu:
1. Bank dan nasabah harus mengadakan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh Syari‘at Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pemberian barang yang telah disepakati kualitasnya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, bukan atas nama pembeli atau nasabah dan pembelian ini harus sah dan bebas dari riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya, jika pembelian dilakukan secara hutang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pesanan) dengan harga jual senilai harga perolehan (harga beli ditambah dengan pajak pertambahan nilai/ PPN, biaya angkut dan biaya lain yang terkait dengan pembelian) ditambah dengan keuntungan. Dalam kaitan ini, bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian secara khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang sendiri dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

G. Aplikasi Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik dalam Lembaga Keuangan
IMBT dipraktekkan dalam perbankan syariah dalam bentuk akad sewa (ijarah) dan dikombinasikan dengan akad jual beli (murabahah). Salah satu contoh aplikasi IMBT dalam Perbankan Syariah adalah produk KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) yang diluncurkan oleh BTN Syariah yang dalam praktiknya KPR ini disebut dengan KPR Syariah. KPR Syariah pada BTN Syariah menggunakan skim Murabahah jenis bay’ bitsaman ajil atau muajjal (jenis pembayaran secara tangguh atau cicilan)

Skema pembiayaan KPR Syariah dengan skim Murabahah pada BTN Syariah dan BSM
1a 2a











1b 2b

Keterangan:
1a: Developer menjual rumah kepada Bank Syariah secara tunai
1b: Bank Syariah membeli kepada Developer selaku supplier secara tunai
2a: Bank Syariah menjual rumah sebesar harga pokok + keuntungan yang
disepakati bersama kepada nasabah KPR Syariah secara tangguh/angsuran
2b: Nasabah KPR membeli kepada Bank Syariah secara angsuran

H. Ijarah dan Leasing
Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, sehingga banyak yang menyamakan ijarah dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istilah itu sama-sama mengacu hal ihwal sewa menyewa. Karakteristik yang membedakan antara ijarah dan leasing terletak pada:


a. Objek
Objek yang disewakan dalam leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja, terbatas pada manfaat barang saja, tidak berlaku untuk manfaat tenaga kerja. Sedangkan objek yang disewakan dalam ijarah bisa berupa barang dan jasa/tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa dan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah mengupah. Objek yang disewakan dalam ijarah adalah manfaat barang dan manfaat tenaga kerja.
Dengan demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada leasing.

b. Metode Pembayaran
Dari segi metode pembayaran, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran yaitu yang bersifat not contingent to formance (pembayaran tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa). Pembayaran ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingent to formance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to formance). Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah, gaji, sewa. Sedangkan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut jualah atau success.

c. Pemindahan Kepemilikan (Transfer of Title)
Dari aspek perpindahan kepemilikan dalam leassing dikenal dua jenis yaitu operating lease dimana tidak terjadi pemindahan kepemilikan baik di awal maupun di akhir periode sewa dan financial lease. Ijarah sama seperti operating lease yakni tidak ada transfer of title baik di awal maupun di akhir periode, namun pada akhir sewa dapat dijual barang yang disewakan kepada nasabah yang dalam perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahia bi al-tamlik. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
I. Ijarah dan Murabahah
Perbedaan antara ijarah dan murabahah terletak pada objek transaksi yang diperjual belikan yaitu dalam pembiayaan murabahah yang menjadi objek transaksi adalah barang, seperti tanah, rumah, mobil dan sebagainya, sedangkan dalam pembiayan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja, sehingga dengan skim ijarah, bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya dapat melayani nasabah yang membutuhkan jasa.
Bentuk pembiayaan ijarah merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli asset terpenuhi dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut.
Secara umum timbulnya ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan akan barang atau manfaat barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan. Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah barang dan jasa.

J. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah itu akan batal bila ada hal-hal berikut:
1. Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan;
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

K. Pengembalian Sewaan
Penyewa berkewajiban mengembalikan barang yang disewa pada saat akad sewa dan masa sewa berakhir. Jika barang itu berupa barang yang dapat dipindahkan, penyewa wajib menyerahkannya kepada pemiliknya. Jika objek sewa berupa benda tetap, ia wajib penyewa wajib menyerahkannya kembali dalam keadaan kosong. Jika objek sewa adalah tanah, maka penyewa wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila kesulitan dalam memindahkannya.
Jika ijarah berupa suatu pekerjaan, maka berkewajiban pembayaran upahnya pada saat berakhirnya pekerjaan
Jika menyewa barang, maka uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali dalalm akad ditentukan lain, manfaat barang yang disewakan mengalir selama penyewaan berlangsung.
Penyewa (musta’jir) diperbolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain, dengan syarat penggunaan barang sewa itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Harga penyewaan kedua terserah pada orang yang menyewa pertama, boleh lebih besar atau boleh lebih kecil. Kerusakan benda sewa akan ditanggung oleh pemilik barang (benda) selama kerusakan bukan dari kelalaian penyewa (mu’tajir).
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad, seperti yang disewakan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak di sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itupun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua itu bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewakan, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat dari kelalaian musta’jir, maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri, seperti menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang ada yang mencuri karena disimpan bukan pada tempat yang tepat.

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh (pembatalan) pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.





















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijarah merupakan penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Lembaga keuangan perbankan lebih banyak menggunakan ijarah al-muntahia bittamlik lantaran lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank tidak direpotkan untuk mengurus aset.
Letak perbedaan antara ijarah, leasing dan murabahah adalah terletak pada objek transaksinya. Ijarah objek transaksinya adalah berupa jasa, sedangkan leasing dan murabahah objeknya adalah berupa barang.
Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik (IMBT) adalah kepemilikan suatu manfaat (jasa) berupa barang yang jelas dalam tempo waktu yang jelas, diikuti dengan adanya pemberian kepemilikan suatu barang yang bersifat khusus dengan adanya ganti yang jelas.















DAFTAR PUSTAKA

Antonio , Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum¸ Jakarta:
Kerja sama Bank Indonesia dan Tazkia, 1999, hlm. 168
A. Karim , Adiwarman, Bank Islam Analisi Fiqh dan Keuangan, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.149
Ascarya, Akad dan Produk Syari’ah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2007,
hal.99.
Hasan, Habib Nazir & Muh. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan S yari’ah. Kaki
Langit, Bandung , 2004, hal. 246
Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari’ah,
2001 DSN,MUI,BI, hal.54
Majelis Ulama’ Indonesia (2003), Himpunan Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional, (Jakarta: DSN MUI bekerjasama dengan Bank Indonesia), hlm. 17.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah Jilid 3, Dar al-Kitab al-Araby, Beirut, 1983, hal.
177.
Suhendi , Hendi, Fiqh Muamalah, Cetakan ke-1, PT. Raja Grafindo, 2002, hal.
114-118.
Tim PPS. IBI (2003), Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank
Syari’ah, (Jakarta: Djambatan), hlm. 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar