MU’AMALAH
1. Jual Beli
A. Pengertian jual beli
Jual beli menurut bahasa berarti menukar Sesuatu dengan sesuatu, sedangkan menurut syara’ jual beli berarti menukarkan harta dengan harta menurut cara –cara tertentu. Firman Allah dalam Al Qur-an:
Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan menghalalkan riba”.
B. Rukun jual beli
Rukun jual beli antara lain:
1) Penjual
2) Pembeli
3) Barang yang dijual
4) Harga
5) Ijab qabul
C. Syarat penjual dan pembeli
Syarat penjual dan pembeli antara lain:
1) Berakal
2) Dengan kehendaknya sendiri
3) Barang yang diperjualbelikan tidak mubazir
4) Baligh
5) Ijab qabul
D. Syarat barang dan harga
Syarat barang dan harga antara lain:
1) Suci barangnya
2) Ada manfaatnya
3) Dapat dikuasai
4) Milik sendiri
5) Diketahui kadar barang yang diperjualbelikan
E. Syarat ijab qabul
Ijab artinya perkataan penjual, misalnya:”Saya jual barang ini sekian”.
Qabul artinya perkataan pembeli, misalnya: ‘Saya beli dengan harga sekian”.
Syarat sah ijab qabul antara lain:
1) Jangan ada yang membatasi/memisahkan, misalnya pembeli diam saja setelah si penjual menyatakan ijab atau sebaliknya.
2) Jangan disela dengan kata-kata lain.
3) Jangan berta’lik, yaitu seperti kata penjual “Aku jual sepeda motor ini pada saudara dengan harga Rp 100.000,- setelah sebulan Kupakai lagi”.
4) Jangan memakai jangka waktu.
F. Jual beli yang terlarang, tetapi sah
Beberapa cara jual beli yang dilarang oleh agama walaupun sah. Larangan ini dikarenakan mengakibatkan beberapa hal antara lain:
1) Meyakini si penjual atau si pembeli
2) Meloncatkan harga menjadi tinggi sekali di pasaran.
3) Menggoncangkan ketentraman umum.
a) Membeli barang yang sedang ditawar oleh orang lain yang masih dalam khiyar.
b) Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar sedang ia tidak ingin kepada barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.
c) Menemui dengan menghentikan orang-orang dari desa yang membawa barang ke pasar, dan membelinya dengan harga murah sebelum mereka (orang-orang desa itu) mengetahui barang tersebut di pasar menurut yang sebenarnya.
d) Menbeli barang untuk ditimbun dengan cara memborong semua barang di pasar, dengan maksud agar tidak ada orang lain yang memilikinya, dan menjualnya nanti dengan harga yang berlipat ganda.
e) Menjual belikan barang yang sah, tetapi untuk digunakan sebagai alat ma’siat.
f) Jual beli dengan menipu baik dari pihak penjual maupun si pembeli , misalnya keadaan barang berbeda dengan contohnya seperti di luar.
G. Jual beli terlarang, tetapi tidak sah
1) Menjual air mani binatang sebagai bibit ternak itu tidak sah, karena tidak diketahui kadarnya.
2) Menjual anak ternak yang masih dalam kandungan.
3) Menjual belikan barang yang baru dibeli sebelum diterimakan kepada pembelinya.
4) Menjual buah-buahan sebelum nyata buahnya (sering disebut ijon)
2. Riba
A. Pengertian Riba
Menurut bahasa riba ialah lebih atau bertambah. Sedangkan menurut syara’, riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.
B. Macam-macam Riba
Menurut pendapat sebagian para ulama, riba itu ada empat macam, yaitu:
1. Riba fadli, yaitu menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama (lebih), misalnya menjual 10 Kg beras dengan 11 Kg beras (barang yang sejenis). Sedangkan yang dimaksud dengan lebih ialah dalam timbangan barang yang ditimbang: takaran pada barang yang ditakar: ukuran pada barang yang diukur dan lain sebagainya.
2. Riba qardi, yaitu utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang.. Misalnya seseorang yang berhutang Rp 1.000,- dengan perjanjian harus membayar Rp 1.100,-
3. Riba yad, yaitu berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari si penjual, tidak boleh menjualnya kepada siapapun, karena barang yang dibeli dan belum diterima masih dalam ikatan jual beli yang pertama, belum menjadi milik yang sebenarnya bagi pembeli/si pemilik.
4. Riba nasa’, yaitu disyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya.
C. Syarat Menjual Suatu Barang Agar Tidak Riba
1. Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, makanan dengan makanan yang sejenis, misalnya beras dengan beras, hanya bisa dilakukan dengan tiga syarat , yaitu:
a. Serupa timbangan dan banyaknya.
b. Tunai
c. Timbangan terima dalam akad (ijab qabul) sebelum meninggalkan majlis akad.
2. Menjual emas dengan perak dan makanan dengan makanan yang berlainan jenis, misalnya beras dengan jagung, hanya dibolehkan dengan dua syarat, yaitu:
a. Tunai
b. Timbang terima dalam akad sebelum meninggalkan majlis akad (taqabul qablat tafaaruq)
D. Dasar Hukum Yang Melarang Riba
1. Firman Allah SWT
a) Ali-Imran: 130
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
b) Al-Baqarah: 275
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
c) Al-Baqarah: 278-279
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman, maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba ), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba ), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
d) Al-Baqarah:276
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
2. Sabda Nabi Muhammad Saw.
Dari Jabir, “Rasulullah Saw. Telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya, dan saksinya. (H.R. Muslim)
3. Utang Piutang
A. Definisi dan Dasar Hukumnya
Utang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Utang piutang sering dikaitkan dengan pemakaian dua istilah, yaitu: qorodh atau qardh. Kedua istilah tersebut dirumuskan sebagai berikut:
a) Qaradh yaitu perjanjian sesutu kepada orang lain dalam bentuk pinjaman yang akan dibayar dengan nilai yang sama, misalnya pinjaman Rp 10.000,- harus dibayar dengan Rp 10.000,-
b) Qorodh adalah memberi sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus dikembalikan lagi semisalnya (bukan barang tesebut)
B. Rukun Utang Piutang (qorodh/qardh)
Rukun utang piutang antara lain:
1) Kalimat mengutangi (lafadz): “Saya utangkan ini kepada engkau”. Jawab yang berutang: ‘Saya mengaku berutang kepada enkau”.
2) Yang berutang dan yang berpiutang.
3) Barang yang diutangkan.
C. Hukum Utang Piutang (qorodh/qardh)
Hukum utang piutang antara lain:
a) Mengutangi kepada orang lain hukumnya sunnat sesudah dasarnya adalah tolong menolong dalam kebaikan, menjadi wajib hukumnya jika orang yang akan berutang itu benar-benar memerlukan, menjadi haram apabila hutang tersebut digunakan untuk bermaksiat, perjudian , pebunuhan dan laian-lain. Dan menjadi makruh jika benda tesebut akan digunakan untuk hal-hal yang makruh.
b) Pada kedua belah pihak diperlukan adanya shighat (penyerahan hutang dan penerimaan hutang).
c) Boleh menghutangkan ternak yang nantinya akan dibayar dengan ternak yang sama.
Menurut H. Moh. Anwar ketentuan dari Qorodh adalah sebagai beikut:
1) Sahnya qorodh itu dengan ijab qabul.
2) Barang yang dihutangkan menjadi hak milik yang berhutang.
3) Diwajibkan kepada orang yang behutang mengembalikan atau membayarnya piutang itu pada waktu yang telah ditentukan dengan barang yang serupa atau dengan seharga.
4) Orang yang mengutangkan berhak menegurnya bila dianggap perlu.
5) Orang yang mengutangkan wajib memberi tempo lagi bila orang yang berutang belum mempunyai kemampuan.
6) Disunatkan kepada orang yang mengutangkan, membebaskan sebahagian atau semua piutangnya bilamana orang yang berutang tidak mampu.
7) Orang berpiutang berhak mengajukan urusannya kepada hakim (pengadilan), bilamana orang yang berhutang malas membayarnya.
8) Hakim berhak memaksa atau menyita harta benda kepunyaan orang yang berhutang untuk dibayarkan kepada orang yang berpiutang.
9) Disunatkan kepada orang yang berhutang memberi jasa dengan uang atau barang, dengan syarat tidak dijanjikan pada waktu akad, karena kalau dijanjikan hukumya riba.
4. Hawalah
A. Pengertian Hawalah
Secara bahasa hawalah atau hiwalah bermakna berpindah atau berubah. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah para fuqaha hawalah adalah perpindahan atau pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut.
Dalam hadits Nabi Saw. bersabda:
Artinya: Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw. “ Penahanan orang kaya adalah suatu kedhaliman, dan juga diikutkan seorang dari kamu kepada yang kaya , maka Ia harus menerima dari penyerahan itu.”
B. Rukun Hawalah
Menurut mazhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh muhil dan qabul yang diucapkan oleh muhal ‘alaih. Sedangkan menurut Jumhur ulama, rukun hawalah ada enam macam yaitu:
1. Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang terhutang)
2. Muhal (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu yang mempunyai piutang)
3. Muhal ‘alaih (orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan)
4. Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang)
5. Piutang Muhil pada Muhal ‘alaih
6. Shighat
C. Syarat-Syarat Hawalah
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal ‘alaih dan Muhal bih. Berkaitan dengan Muhil, Ia disyaratkan harus:
1. Berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab secara hukum.
2. Kerelaan Muhil, ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika Ia dipaksakan . Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fuqaha untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal yaitu:
1. Ia harus memilik kemampuan untuk melaksanakan kontrak.
2. Kerelaan dari Muhal, karena tidak sah jika hal itu dipaksakan.
3. Ia bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhai ‘alaih yaitu:
1. Sama dengan syarat pertama bagi Muhal dan Muhil yaitu berakal dan baligh.
2. Kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan.
3. Menerima akad hawalah dalam majelis atau di luar majelis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal bih yaitu:
1. Ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kapda Muhal.
2. Hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim, artinya bahwa hutang itu hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
D. Jenis-Jenis Hawalah
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah Muthalaqah dan hawalah Muqayyadah.
1. Hawalah Muthalaqah terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (oarang kedua) mengalihkan hak pengalihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada pihak pertama.
2. Hawalah Muqayyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal ‘alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal.
a. Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang.
b. Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya.
E. Kedudukan Hukum Hawalah
1. Jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan Ia kini bebas dari penagihan hutang.
2. Dengan ditanda tanganinya akad hawalah , maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal ’alaih.
F. Berahkirnya Akad Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut:
1. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya hak Muhal ‘alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau Ia mengingkari adanya akad hawalah, sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika Muhal ‘alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal, ini berarti akad hawalah telah benar-benar dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya Muhal, sementara Muhal ‘alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan jika akad ini hawalah Muqayyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut Mazhab Hanafi.
5. Jika Muhal menghibahkan harta hawalah kepada Muhal ‘alaih dan Ia menerima hibah tersebut.
6. Jika Muhal menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal ‘alaih.
7. Jika Muhal menghapuskan kewajiban membayar hutang kepada Muhal ‘alaih
5. Qiradl
A. Pengertian Qiradl
Qiradl ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya, menurut perjanjian antara keduanya.
B. Rukun Qiradl
1. Modal (harta), keadaan harta diketahui banyaknya.
2. Pekerjaan.
3. Keuntungan.
4. Yang punya modal dan pekerja.
C. Larangan Bagi Yang Melakukannya
1. Tidak boleh menggunakan harta untuk kepentingan dirinya atau untuk darma.
2. Tidak boleh berdagang ke lain tempat yang jauh membutuhkan biaya perjalanan yang banyak, kecuali dengan izin dari pemilik modal.
6. Syirkah
1. Pengertian
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran.
Menurut istilah syirkah, para Fuqaha berbeda pendapat, diantaranya:
1. Menurut Sayid Sabiq, syirkah ialah akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
2. Menurut al-Syarbini al-Khatib, syirkah ialah ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang manshur (diketahui).
3. Menurut Syikab al-Din al-Qayubi wa Umaira, syirkah ialah penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.
4. Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammmad al-Husain, syirkah ialah ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang diketahui.
Dari beberapa pengertian di atas para ulama menyimpulkan pengertian syirkah ialah: kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Dasar hukum syirkah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“ Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat kepada pihak lain, maka keluarlah aku dirinya.”
2. Rukun Dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah menurut ulama Hanafiah ada dua macam yaitu:
1. Ijab dan Qabul
2. Dua orang atau lebih yang berakad
Syarat syirkah ada lima macam, yaitu:
1. Dengan modal uang tunai.
2. Kedua orang atau lebih berserikat sepakat menyerahkan modal mencampurkan antara harta benda anggota serikat dan mereka bersepakat dalam jenis dam macam perusahaanya.
3. Dua orang atau lebih harus mencampur kedua harta (sahamnya), sehingga tak dapat dibedakan satu dari yang lain.
4. Seorang di antara mereka mengizinkan teman serikatnya untuk membelanjakan hartanya, kalau serikat itu hanya terdiri dari dua orang.
5. Untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal harta serikat yang diberikan.
3. Macam-Macam Syirkah
Menurut Hanafiah syirkah dibagi atas:
1) Syirkah Milk, yaitu ibarat dua orang atau lebih memilikkan suatu benda kepada yang lain tanpa adanya akad syirkah. Syirkah milk di bagi atas:
a. Syirkah Milk Jabar, yaitu berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa.
b. Syirkah Milk Ikhtiyar, yaitu berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan benda dengan ikhtiyar keduanya.
2) Syirkah ‘Ukud, yaitu ibarat akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk berserikat dalam harta dan keuntungan. Syirka ‘Ukud dibagi atas:
a. Syirkah ‘Ukud al-Mal, yaitu ibarat kesepakatan dua orang atau lebih uintuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil, dengan cara mengelolah harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
b. Syirkah ‘Ukud al-Wujud, yaitu dua orang berserikat atau pihak yang tidak ada harta di dalamnya tetapi keduanya sama-sama berserikat.
4. Cara Mebagi Keuntungan dan Kerugian
Cara mebagi keuntungan atau kerugian tergantung besar dan kecilnya modal mereka tanamkan. Contoh dalam tabel berikut:
Nama
anggota Pokok
Masing-masing Jumlah
Pokok Untung Persentase
Untung Cara Singkat Menghitung Persentase
Majid Rp 1.500,00 1/10*1/4*6000=1/4*600
=Rp 150 6000:1500=4
600:4=150
Tamami Rp 1.000,00 Rp 6.000,00 Rp 600,00 1/0*1/6*6000=1/6*600
=Rp 100 6000:1000=6
600:6=100
Karson Rp 500,00 1/10*1/6*6000=1/12*600
= Rp50 6000:500=12
600:12=50
Lilian Rp 3.000,00 1/10*1/2*6000=1/2*600
=Rp 300 6000:3000=2
600:2=300
5. Mengakhiri Syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (keahlian mengelolah harta), baik karena gila maupun karena alasan lainnya.
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota –anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut , maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
d. Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampunan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab lainnya.
e. Salah satu pihak jatuh bangkrut yasng berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
f. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta
g. Lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, Syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
7. Ranhu (pinjaman dengan jaminan/penggadaian)
A. Pengertian
Gadai ialah menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan hutang dan akan dijadikan pembayaran hutangnya jika hutang itu tidak dapat dibayar.
B. Dasar Hukum Ranhu (penggadaian)
Referensi atau dasar hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (borg) adalah firman Allah SWT sebagai berikut :
Artinya:
Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang memberikan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu (Al-Baqarah:283)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas R.A berkata:
“Rasulullah SAW. Menangguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi.
C. Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain:
1. Akad ijab dan kabul
2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3. Barang dijadikan jaminan adalah barang yang bisa bertahan lama, sehingga barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
4. Ada hutang (keadaan hutang telah tetap)
D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Pengambilan manfaat dari barang gadai, para ulama berbeda pendapat, di antaranya Jumhur Fuqaha dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha berpendapat, “bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal itu termasuk kepada utang yang menarik manfaat, dan hukumnya riba”.
Rasul bersabda:
“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”. (H.R. Bin Abi Usamah)
Ahmad berpendapat, “jika barang gadai berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya”.
Rasul bersabda:
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
E. Penyelesaian Gadai
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin (orang yang memberi gadai) belum membayar utangnya, hak murtahin (orang yang menerima gadai) adalah menjual marhun (barang gadaian). Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan ketentuan apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila penjualan marhun kurang dari utangnya, rahin masih menanggung pembayaran hutangnya.
G. Riba dan Gadai
Riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar hutangnya. Atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat. Kemudian syarat-syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual barang gadai, dengan tidak memberikan kelebihan harga barang gadai kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.
8. ‘Ariyah
A. Pengertian ‘Ariyah (pinjam-meminjam)
Pinjam-meminjam ialah memberikan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yng halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak rusak zatnya.
B. Syarat-syarat ‘Ariyah
1. Syarat orang yng meminjam dan yang meminjamkan ialah baligh, berakal dan dan melakukannya dengan kemauannya.
2. Manfaat barang yang dipinjamkan harus merupakan milik orang yang meminjamkan.
3. Orang yang meminjam sesuatu barang, hanya dibolehkan mengambil manfaat menurut apa yang diizinkan oleh orang yang meminjamkan.
4. Mengembalikan barang pinjaman, kalau dibutuhakan ongkos, maka ongkosnya atas tanggungan peminjam.
5. Pinjaman yang dibatasi waktunya, peminjam harus mengembalikan barang pinjaman setelah habis waktunya.
C. Hukum Pinjam-Meminjam
1. Meminjamkan sesuatu hukumnya sunat, malah terkadang menjadi wajib, dan juga terkadang menjadi haram (tergantung pentingnya dan jenis barang yang dipinjamkan)
2. Orang yang meminjamkan sewakatu-waktu boleh meminta kembali barang yang dipinjamkannya.
3. Sesudah yang meminjam mengetahui, bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan akadnya, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya.
4. Pinjam-meminjam menjadi batal dengan matinya atau gilanya salah seorang dari peminjam atau yang meminjamkan.
9. Sewa-menyewa
A. Pengertian Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa ialah melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan janji yang telah ditentukan.
B. Rukun Sewa-Menyewa
1. Ada yang menyewa dan yang mempersewakan, syaratnya antara lain:
a) Berakal.
b) Kehendak sendiri (bukan dipaksa).
c) Keduanya tidak bersifat mubazir.
d) Baligh.
2. Sewa, disyaratkan keadaanya diketahui dlm beberapa hal:
a) Jenisnya.
b) Kadarnya.
c) Sifatnya.
3. Manfaat, syarat manfaat:
a) Manfaat yang berharga.
b) Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan .
c) Diketahui kadarnya.
C. Rusaknya Sewa-Menyewa
a) Meninggalnya salah satu dari orang yang menyewa dan menyewakan, tidak berakibat batalnya akad sewa-menyewa. Akad sewa menyewa dianggap batal apabila barang sewanya rusak dan tidak dapat diambil manfaatnya lagi.
b) Menyewa barang yang dalam tanggungan seseorang.
c) Apabila barang sewanya sewaktu digunakan tiba-tiba rusak, maka penyewa tidak harus menggantinya, kecuali karena kelengaanya.
10. Wadi’ah
A. Pengertian Wad’iah
Wadi’ah ialah menitipkan sesuatu barang kepada orang lain untuk dipelihara yang wajar. Ia merupakan sesuatu amanat yang disunatkan bagi orang yang dipercayakan untuk menerimanya, sedang Ia tidak diharuskan mengganti kerugian apa-apa apabila ada kerusakan, kecuali disebabkan kecorobohan terhadap barang yang ditipkan itu, misalnya:
a) Tidak disimpannya di tempat wajar.
b) Dititipkan lagi pada orang lain tanpa ijin yang punya.
c) Dipakai tanpa ijin yang punya barang, tiba-tiba rusak atau hilang.
11. Wakalah
A. Pengertian Wakalah
Wakalah ialah seseorang menyerahkan pada orang lain melakukan sesuatu yang boleh ia sendiri mengerjakannya dan boleh pula berganti-ganti mengerjakannya supaya dikerjakan pada waktu hidupnya.
B. Syarat Wakalah
1. Syarat orang yang mewakilkan ialah: Ia dipandang sah oleh hukum syara’ untuk mengerjakan sendiri pekerjaan yang diwakilkan. Demikian pula syarat yang menerima/menjadi wakil dari orang lain. Orang gila atau anak-anak di bawah umur tidak sah menerima/menjadi wakil atau mewakilkan.
2. Syarat pekerjaan yang dapat diwakilkan ialah:
a. Pekerjaan itu boleh dikerjakan oleh orang lain, sebab itu boleh mewakilkan pekerjaan-pekerjaan badaniyah, yakni ibadat yang harus dikerjakan oleh badan, kecuali ibadah haji, membagi zakat dan menyembeli kurban.
b. Pekerjaan yang diwakilkan itu sudah menjadi milik yang mewakilkan. Oleh karenanya tidak sah berwakil menjual barang yang belum miliknya.
c. Pekerjaan yan g diwakilkan itu harus dapat diketahui.
3. Syarat ucapan menyatakan berwakil (ijab qabul)
Hendaknya lafadz menyatakan kerelaan yang mewakilkan dan yang menerima wakil, misalnya: “Aku mewakilkan kepadamu menjual/membeli……”
C. Rusaknya wakalah
Wakalah menjadi rusak bilamana salah seorang dari dua orang yang mewakilkan atau yang menerima wakil, atau salah seorang diantaranya membatalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Moh, H. Drs. Ilmu Fiqi Islam Lengkap. CV. Toha Putra, Semarang.
Rasjid, Sulaiman, H. Fiqh Islam. Sinar Baru Algesindo, Bandung.
M,Si, Suhendi, Hendi, H. Dr. Fiqh Muamalah. Rajawali Pers, Jakarta.
Al- Wajiz. Fiqh Islam dalam Al Qur-an dan As-Sunnah. Pustaka As-Sunnah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar